Titik terendah dalam hidup saya. Dimana saya menutup pintu
kamar serapat-rapatnya. Berharap tiada yang tahu. Tiada yang mengerti.
Saya menangis.
Rasanya berisak sendu di dalam ruangan fundamental ini,
membuat saya bisa meluruhkan racun pikiran saya. Berurai sejadi-jadinya.
Dosakah sedu sedan itu?
Saya yakin, semua orang pernah menangis, hampir semua.
Kehilangan, kekalahan, kekalutan, kebingungan, penyesalan, kesepian, kegagalan,
bahkan asmara. Semuanya sama, membawa hati ke curuknya yang terdalam.
Bahkan suri tauladan kita, sang pemimpin umat, akhlakul
kharimah sepanjang perhidupan, pernah menangis dalam detikan jantungnya. Dia
menangis saat bermunajat dalam mihrabNya.
Orang biasa menangis karena hal-hal biasa. Orang kecil
menangis karena hal-hal kecil. Orang remeh menangis karena hal-hal remeh. Orang
besar, sukses, berhasil, menangis karena hal-hal yang besar. Begitupun dengan
Rasulullah!
Dan saya.
Saya menangis karena saya tertekan, marah dalam kebiadaban
hidup saya. Terpekur menyalahkan diri, bersedu karena rasa yang menyesakkan.
Keberadaan saya dalam lingkup dosa ; yang tidak bisa dinalar dalam semestinya.
Saya melihat guratan wajah itu, sedang berdiri di pintu
kamar saya. Menatap saya dengan dingin. Sayu.
Dia mungkin tidak berkata-kata, tapi sorotnya, sukses
membuat saya dalam rasa penyesalan hingga kini. Saya mencintai dia. Laki-laki
yang mungkin kurang shaleh, tidak kaya, tidak berilmu tinggi, tapi dia, adalah
laki laki juara satu saya. Laki-laki paling berpengaruh dalam kehidupan saya.
The dearest one in life! Anymore…
The miracle of tears is
saying good bye to the sorrow.
Sejatuh-jatuhnya Anda dalam kubangan lumpur sesal, Anda
tetap akan berdiri. Hanya saja, hal itu terpengaruh dari seberapa kuat Anda
berusaha atau mungkin Anda malah berdiam diri ; membiarkan diri Anda terlarut
hingga mati!
Menyayat daging hingga menderai darah. Terlalu banyak orang
yang saya temui dengan perilaku gila itu. Mereka mencedera, bertantang pada hal
kecil yang tidak dipertantangkan.
Tentu saja, saya menuliskannya karena saya melihatnya.
Berhubungan dengan mereka! Mengobok-obok kehidupan mereka ; yang mereka sebut
Biadab!
Saya mengerti, mereka berada pada titik terendah dalam
hidupnya. Tapi, bukankah itu tindak yang melenceng dari jalur semula?
Rabb menciptakan air mata sebagai pembasuh luka. Alcohol
dalam perih. Morfin dalam sakit. Lalu mengapa luka harus ditutupi dengan luka?
Bukankah, menangis itu sudah cukup?
Air mata adalah seperti pembius mujarab anti karat. Bukan
bermaksud mengungguli ilmuNya, tetapi saya pernah membaca artikel tentang
sebuah penelitian yang membuktikan bahwa 85% wanita dan 73% pria berkurang
kesedihan dan kemarahannya setelah menangis. Terlepas dari takdir, orang yang
sering menghujani pipinya dengan lelehan air mata, memiliki rentang usia yang
lebih panjang dari orang-orang yang jarang (bahkan mungkin tidak pernah)
menangis.
Dan lelehan kristal itu, adalah toxin yang membuat Anda
lebih kuat. Have more strength, to face this world. Ready!
Tears to fight :
1. Admin it! It’s real.
Terkadang sebuah kemarahan, kegagalan, ujian dan tantangan yang tak bisa ditentang, sulit
diakui dan bahkan kita tidak ingin memaknainya. I’m Okay. Dan selanjutnya hati
Anda berkata “Trust Me, I’m Not Okay”. Sebuah kesenjangan pikir karena Anda
tidak ingin terlihat lemah! Ringkah! Parah!
Akuilah, rasa sakit itu ada. Akuilah, Anda sedang menangis
sejadi-jadinya. Akuilah, Anda berada dalam jurang jebakan antara mimpi dan
realita.
Menangislah!
Menangis sampai tertidur jika itu membuat Anda lega. Enjoy
this sorrow for a while, just for one night! Anggap, itu adalah sebuah charger
; penghentian sementara untuk menyusun energi baru, yang tak terpatahkan.
2. It’s not the end.
Bukan akhir dari dunia. Perasaan manusia terus berganti,
seiring detik waktu yang kian berlari. Kencang menembus gilang gemintang,
gulita persinggahan. Di tengah gairah hidup yang memuncak, jaya tanpa retak,
kita disentuh dengan takdir yang menyentak. Sekalipun kejayaan digadang-gadang,
melayang di atas awan terang, sesekali kita perlu “turun kembali” ke bumi.
Untuk sekedar menghela nafas. Tidak terlalu jauh berkelana pada kebahagiaan.
Hidup itu dunia! Dunia itu perlu dihidupkan!
3. Fall, then rise again.
Roda itu adil. Membawa kita berada di puncak, dan
menghempaskan kita ke dasar. Tenggelam! Tapi bukankah itu yang namanya hidup?
Hidup dalam perhidupan yang tak terprediksikan. Berjalan tanpa tahu apa yang
akan menghadang. Jatuh, berdiri, maju, mundur, tanpa kalkulasi merinci. Itulah
hidup.
Jangan berlama-lama, buka jendelamu, sinar mentari yang
menghangat, siap menyambutmu menjadi ilalang liar yang tak peduli dengan
kerasnya kehidupan. Yang penting hidup! Hidup dalam dunia yang hidup!
Fall, then Rise again!
No comments:
Post a Comment